Senin, 06 September 2010

MASSA DI ABDOMEN

MASSA DI ABDOMEN APA YANG HARUS DIPIKIRKAN ?

Definisi
Ditemukannya massa di abdomen pada bayi baru lahir tidak kurang maknanya disbanding Pada besar ataupunb pada orang dewasa. Hanya sebagian kecil yang ganas, dan kebanyakan kurabel. Lebih dari setengahnya berasal dari saluran genitourinary.

Diagnose deferensial massa abdomen pada neonates (menurut frekwensinya)
1.Lateral
a.Multicystic kidney
b.Hydronephrosis
c.Hydroureter
d.Renal vein thrombosis
e.Mesoblastic nephroma
f.Wilms tumor
g.Neuroblastoma
h.Adrenal hemorrhage
2.Midabdominal
a.Mesenteric cyst
b.Ovarian cyst
c.Duplication of intestine
d.Meconeum ileus
3.Upper abdominal
a.Liver tumor
b.Subcapsular hematoma of liver
c.Choledochal cyst
d.Splenic cyst
e.Splenic hematoma
4.Lower abdominal
a.Bladder
b.Hydrometrocolpos
c.Urachal cyst
d.Sacrococcygeal teratoma
e.Anterior meningocele

Diagnose

1.Pemeriksaan fisik. Memberikan temuan penting untuk mengidentifikasi massa di abdomen, dimana kebanyakan asymptomatic. Keadaan ini biasanya kemungkinan pilihan diagnostiknya sempit, 2 atau 3, bila dengan pemeriksaan fisik saja.
a.Lokasi khusus di abdomen, yang sering digunakan sebagai arahan temuan koinis. Massa di daerah flank muncul dari ginjal atai kelenjar adrenal. Massa di abdomen atas biasanya bwerhubungan liver atau spleen. Massa di abdomen bawah biasanya terkait dengan distended bladder, atau uterus. Massa di mid abdomen, bila mudah digerakan sering disebabkan oleh mesenteric cyst, atau duplikasi intestinal.
b.Massa yang besar meliputi seluruh abdomen, tidak memungkinkan mengetahui asal letaknya. Neuroblastoma yang besar atau mesoblastic nerfroma mungkin meluas melebihiu garis tengah dan turun ke pelvis.
c.Massa yang keras, tipikal suatu tumor, terutama bila permukaannya noduler, atau irregular. Kista biasanya lunak dan licin, tetapi bisa juga teraba kesar bila tegang.
d.Mobilitas dari massa badomen merupakan temuan 0penting pada pemeriksaan. Massa yang berasal sdari struktur retroperitoneal (ginjal, adrenal), liver dan daerah retrorektal (meningocele anterior, teratoma) sering kali terfiksasi, sedangkan yang lainnya bisa digerakan
e.Pemeriksaan rectum akan menyingkirkan kemungkinan meningocele anterior atau teratoma, pembesaran buli-buli, vagina atau uterus. Imperforate hymen akan menyebabkan hydrometrocolpos dibuktikan dengan pemeriksaan genitalia.

2.Pemeriksaan radiologi, hamper selalu diindikasikan dalam menegakan diagnose pada sebagian pasien d engan massa diabdomen
a.Pilih dengan seksama dan hati-hati sesuai dengan tersedianya alat radiologi yang diperlukan dengan kwalitas yang baik sehingga dengan satu atau dua foto saja sudah cukup membantu menegakan diagnosais
b.CT-Scann atau MRI harus ndikerjakan pada sebagian besar pasien bayi dengan massa abdomnen. Dengan satu pemeriksaan ini saja sudah bisa memberikan temuan informasi yang akurat; lokasinya tepat, apakah tumornya padat atau kistik, perhubungannya dengan organ-organ sekitar, adalak kalsifikasi (yang mungkin tidak tampak pada foto polos abdomen). Dengan menggunakan kontras, suplay darah secara detail dan adanya tumor pada vena renalis atau vena cava bisa dievaluasi. Scan toraks bisa dikerjakan sama-sama dengan scan abdomen untuk evaluasi adanya metastase tumor pe paru-paru.
c.Ultrasound mungkin bisa membantu untuk pemeriksaan screening awal untuk membuktikan adanya massa, tetapi hanya sedikit membantu pada pemeriksaan preopretif
d.Foto dengan kontras (IVP,UGIS,BE) dikerjakan bila didapati adanya obstruksi usus atau saluran kencing
e.Scan-isotop hanya bisa sedikit membantu bila dibandingkan dengan CT-Scann

3.Pemeriksaan laboratorium termasuk diantaranya BUN, creatinin, tumor marker diperiksa sesuai denganb kecurigaannya; VMA dan alfa feto protein. LFT diperiksa bilamana bila sdicurigai adalanya kelainan yangf melibatkan liver

Treatment
Kebanyakan neonates dengan massa di abdomen dilakukan operasi baik untuk menegakan diagnosais maupun untuk terapi definitifnya, kecuali beberapa keadaan.
1.Terapi non-operatif; dilakukan pada perndarahan adrenal, kebanyakan pada thrombosis vena renalis, hematoma spleenic atau hepatic, dan neurogenic bladder.
2.Operatif dilakukan sebagai terapi kuratif untuk kebanyakan kasus dengan massa di abdomen, antara lain : neuroblastoma, Wilms tumor, yang sering ditemukan pada anak-anak

Kepustakaan
Lucian L Leape MD : Patien care in pediatric surgery. 1 st Ed, little, Brown & Compeny, Boston/ Toronto, p: 127-8, 1987.

Selasa, 24 Agustus 2010

PENATALAKSAAN TERAPI CAIRAN PADA BAYI/ANAK

PENDAHULUAN
Penatalaksanaan cairan merupakan elemen penting pada penatalaksanaan pasien bedah anak. Bayi dan anak-anak sangat sensitive meskipun terhadap dehidrasi ringan sekalipun dan penggunaan protocol terapi cairan pada anak tidak bisa merubah keadaan fisiologis perioperatif secara cepat.

FISIOLOGI GINJAL
Komposisi cairan tubuh
Konten total cairan tubuh pada bayi baru lahir aterm adalah 75%-80%. Total cairan tubuh akan menurun 4%-5% dalam seminggu pertama kehidupan, hal ini direfleksikan sebagai hilangnya berat badan. Sampai umur 1 tahun cairan tubuh total akan menurun dengan lambat untuk mencapai kadar dewasa sebesar 60%. Konten cairan ekstrasel menurun sejajar dengan cairan tubuh total dari 45% saat aterm menjadi 20%-25% level dewasa pada saat anak umur 1 tahun.
Untuk neonatus prematur cairan tubuh total dan cairan ekstra sel meningkat dengan menurunnya usia gestasi; contohnya : cairan ekstrasel neonatus prematur pada 28 -32 minggu usia gestasi adalah 52% dari berat badannya. Pada umur 1 minggu kehidupan, proporsi cairan ekstra sel menurun 12%,
Perubahan kompartemen cairan tubuh berlangsung tampaknya sejak intra uterin, tetapi akan terputus bila janin dilahirkan prematur, pangurangan volume cairan ekstrasel ini sangat penting untuk transisi normal dari kehidupan janin ke kehidupan postnatal.
Bayi preterm dengan ekses asupan cairan, meningkatkan insidens patent ductus arteriosus, kegagalan jantung kiri, distres nafas, necrotizing enterocolitis.

FISIOLOGI CAIRAN DAN ELEKTROLIT GINJAL
Pergeseran cairan tubuh pada masa postnatal pada prInsipnya dimediasi oleh regulasi ginjal terhadap air dan ekskresi natrium. Pengaturan ginjal terhadap air berkaitan dengan filtrasi glomerulus dan dan fungsi tubuler. GFR pada bayi aterm baru lahir adalah 25% dari GFR dewasa. GFR bayi baru lahir secara cepat meningkat selama masa 1 minggu pertama kehidupan, kemudian akan menurun secara perlahan sampai setara dengan orang dewasa; yakni pada umur 2 tahun. Sangat berlawanan dengan keadaan rendahnya GFR, bayi-bayi aterm dapat mengatur “sejumlah penambahan” cairan tubuh karena efek positif dari rendahnya kapasitas pemekatan ginjal bayi baru lahir yang berlawanan dengan efek negative akibat rendahnya GFR. Adapun bayi premature mempunyai mekanisme kompensasi yang terbatas dan mungkin tidak mampu mentoleransi sejumlah besar cairan atau hipovolume tanpa komplikasi klinis berat
Kapasitas pemekatan ginjal bayi lebih kecil dari pada orang dewasa. Kekurang mampuan respons terhadap air, ginjal bayi aterm dapat meningkatkan osmolalitas urine maximum 600-700 mOsm/kg. dalam keadaan yg sebaliknya, osmolalitas maximum dari urine pada orang dewasa 1200 mOsm/kg. Variasi pelepasan vasopresin atau anti diuretic hormone (ADH) meregulasi osmolalitas dari cairan ekstra sel. Adapun bayi baru lahir yang dehidrasi tidak bisa meregulasi konsentrasi urine seefisien kemampuan orang dewasa. Setelah terjadi penimbunan cairan bebas, bayi bisa mengeksresi air yg ditandai dengan urine dilusi > 50 mOsm/kg dalam keadaan yang berlawanan pada orang dewasa; kemampuan dilusi urine pada orang dewasa 70-100 mOsm/kg.
Keadaan tersebut dapat meningkatkan kebutuhan bayi terhadap ;
1. hipertermia,
2. peningkatan kehilangan suhu evaporasi dari ventilator mekanik dan
3. kehilangan melalui transepitelial pada bayi premature.
Maneuver sederhana untuk mengendalikan kehilangan cairan basal agar dalam keseimbangan maka diberikan cairan penganti cairan basal pada pasien hipertermia juga pada pasien dengan terapi sinar pada hiperbilirubinemia, serta pasien dengan tubing dan ventilator

PARADIGMA TATALAKSANA CAIRAN
Tatalaksana cairan dibedakan dalam 3 keadaan :
1. Terapi deficit
2. Terapi maintenense
3. Terapi replacement

Terapi deficit :
Terapi deficit adalah penatalaksanaan terhadap kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi, sebelum tampak klinisnya pada pasien
Terapi deficit mempunyai 3 komponen:
1. Estimasi derajat dehidrasi yang terjadi
2. Menentukan tipe dari deficit cairannya
3. Perbaiki defisitnya

Derajat dehidrasi :

Derajat dehidrasi ditentukan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
1.Dehidrasi ringan (deficit cairan 1-5% volume cairan tubuh), sebagian besar didasarkan pada riwayat penyakit : muntah dan diare dengan sedikit (minimal) hasil pemeriksaan fisik
2.Dehidrasi sedang (kehilangan 6-10% volume cairan tubuh) mempunyai riwayat kehilangan cairan dan pemeriksaan fisik antara lain : turgor kulit, kehilangan berat badan, kelopak mata cekung dan ubun-ubun besar, letargi ringfan, membrane mukosa kering.
3.Dehidrasi berat (11-15%) kardiovaskuiler tidak stabil (turgor <<<, takhikardia, hipotensi) disertai keterlibatan neurologis (iritabel, koma)

Tipe dehidrasi :
Tipe deficit cairan bisa diperkirakan dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, nilai elektrolit, dan tonusitas serum.
1.Dehidrasi Isotonus (osmolaritas serum 270-300 mOsm/L, konsentrasi Na serum 130-150 mEq/L)
2.Dehidrasi Hipotonus (osmolaritas serum < 270 mOsm/L, konsentrasi Na serum < 130 mEq/L)
3.Dehidrasi Hipertonus (osmolaritas serum > 130 mOsm/L, konsentrasi Na serum >150 mEq/L)
Pasien dengan dehidrasi hipertonik memerlukan perhatian khusus, karena komplikasinya ; diantara nya : edema serebral bisa terjadi selama re-hidrasi

Pemulihan fungsi kardiovaskuler, fungsi SSP, dan perfusi ginjal merupakan perhatian utama pada perbaikan deficit cairan. Terapi awal dengan cairan isotonus untuk menambah volume. Memperbaiki seluruh deficit cairan mungkin memerlukan waktu. Pada praktisnya, kehilangan kalium tidak bisa segera dipuilihkan secara cepat. Setelah anak mengeluarkan kencing, berikan sejumlah kecil kalium (<40 mEq/L) kedalam cairannya. Minitor adekwat secara terus menerus harus dikerjakan pada terapi deficit cairan dengan menilai kondisi klinis, produksi urine dan berat jenis urine.

Terapi rehidrasi cepat:
Pada anak dengan deplesi volume cairan tubuh, sangat penting meningkatkan volume cairan dengan cepat untuk mengganti cairan ekstrasel yang hilang, ini sangat bertolak belakang dengan terapi deficit yang klasik seperti diatas. Contohnya; pada luka bakar berat, dilakukan resusitasi cepat cairan ekstra sel, maka mortalitasnya menurun. Seluruh cairan diberikan dalam 8-12 jam sekitar 100 ml/kg sesuai dengan cairan ekstra sel, yakni; NS atau RL.

FRIEDMAN (2005) : Pada dehidrasi sedang yang tidak bisa direhidrasi secara oral, maka cairan ekstrasel dipulihkan dengan pemberian RL dengan dosis 40 ml/kg dalam 1-2 jam, rehidrasi oral diberikan setelah rehidrasi intra vena selesai. Pada dehidrasi berat; cairan ekstra sel dipulihkan dengan cairan intra vena; RL, NS, atau keduanya dengan kecepatan 40 ml/kg dalam 1-2 jam. Bila turgor belum pulih, kesadaran belum pulih, atau nadi masih belum teraba pulih sampai ahir cairan diberikan, maka berikan cairan tambahan dengan dosis20-40 ml/ kg harus diberikan > 1-2 jam

Cairan koloid vs kristaloid:
Koloid dan kristaloid, keduanya digunakan secara luas sebagai cairan resusitasi pada pasien kritis. Beberapa cairan koloid yang bioasa digunakan antara lain : albumin, hydroxyethil starch (Hetastarch), dextran.
Perdebatan mengenai efektifitas relative perbandingan antara koloid dan kristaloid (RL dan NaCL 0,9%) masih berlangsung. Tidak ada bukti yang menperlihatkan resusitasi menggunakan kristaloid dapat menurunkan risiko pada pasien trauma ataupun luka bakar yang dilakukan operasi.
Karena kolid tidak berhubungan dengan perbaikan survival dan karena koloid jauh lebih mahal daripada kristaloid, mereka masih terus menggunakan kristaloid untuk pasien-pasien kritis kemungkinan tidak berdasarkan penelitian “randomized controlled trials”

Terapi rumatan (maintenance)
Yang utama pada terapi rumatan adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang dalam keadaan normal (biasa). Pada periode perioperatif, pemberian cairan rumatan tidak untuk meningkatkan kebutuhan cairan oleh kehilangan cairan yang pindah ke rongga ke tiga masuk ke jaringan intersisiel dan usus.

Panduan pemberian cairan pasca bedah dini dan rumatan :
umur < 6 bulan :
< 12 jam post-op:D10-0,45% NaCl diberikan 1,5 x maintenence rate
cairan maintenece : D10 dengan 0,2% NaCl + KCl 10-20 mEq/L pada maintenence rate
umur > 6 bulan :
< 12 jam post-op : D5% dg RL diberika 1,5 x maintenece rate
cairan maintenence: D10 dg 0,45% NaCl + KCl 10-20 mEq/L pada maintenence rate

Cairan untuk terapi maintenance (rumatan) digunakan untuk mengganti cairan yang hilang dari 2 proses :
1.Kehilangan cairan akibat evaporasi : kehilangan air bebas melalui kulit dan pernafasan (uap) berupa insensible water loss ± 30%-35% dari volume total cairan rumatan, jadi sekitar sepertiga dari cairan rumatan yang diberikan tergantung kelembaban udara dan temperature lingkungan. Pasien dengan hipertermia atau takhipnea IWL lebih besar
2.Kehilangan urine : dalam keadaan euvolemic, kehilangan urine adalah 280-300 mOsm/kg dari air dengan berat jenis urine antara 1.008 – 1.015. dalam keadaan tertentu (Diabetes insipidus, prematuritas) kehilangan cairan dari urin yang terdilusi menjadi lebih banyak, jadi volume yang diberikan pun harus dinaikan. Dalam keadaan lain misalnya; secresi ADH yang eksesif, stress fisiologis pasien mungkin tidak mampu menurunkan osmolalitas urine sampai mencapai 300 mOsm/kg air dan volume cairan rumatan harus diturunkan. Dalam kondisi dibawah euvolemic, kehilangan cairan melalui urine 2/3 dari volume total cairan rumatan.

Kebutuhan cairan untuk rumatan dapat diperkirakan dengan menggunakan formula yang sudah sering digunakan (lihat table). Selama pemberian terapi rumatan, kondisi pasien harus sering di “assess”. Bila estimasinya benar maka kadar elektrolitnya stabil dan secara klinis selalu dalam keadaan euvolemic. Bila kadar elektrolitnya tidak normal atau terdapat tanda-tanda klinis dsari hipervolemia atau hipovolemia,m maka harus dilakukan “re-assess” dari sejumlah komponen dari terapi rumatan pasien.
Panduan cairan untuk terapi rumatan untuk bayi normal aterm dan anak-anak:
Bayi baru lahir :
Hari – 1 : infuse D10 dengan rate 50-60 ml/kg/24 jam
Hari – 2 : infuse D10 dengan 0.2% NaCl, infused rate 100 ml/kg/24 jam
Setelah hari ke-7 : D5%dengan 0.45% NaCl , atau D10 dengan 0.45% NaCl, infused rate 100 ml- 150 ml/kg/24 jam
Pemberian cairan pada anak
BB 0-10 kg : 100 ml/kg/24jam
BB 10-20 kg : 1000 ml/ 24jam + 50 ml/kg/24jam atau 40ml/jam + 2 ml/kg/24jam
BB > 20 kg : 1500 ml/.24jam + 25ml/kg/24jam atau 60ml/jam + 1 ml/kg/24jam
Terapi replacement cairan
Terapi cairan pengganti dirancang untuk mengganti kehilangan abnormal cairan dan elektrolit yang sedang berlangsung. Oleh karena konstituen dari kehilangan cairan-elektrolit tersebut secara substansial berbeda dari komposisi cairan rumatan, maka bila hanya meningkatkan volume cairan rumatan saja akan sangat berbahaya. Secara umum para peneliti mengganti sejumlah besar volume cairan untuk mengganti cairan yang keluar dari stoma atau kehilangan cairan oleh sebab lain dengan cairan fisilogis secara equivalent.
Table - 2 : komposisi elektrolit tipikal daridari cairan tubuh untuk anak dengan kelainan kehilangan cairan dan elektrolit dan dari cairan IV yang sering digunakan
Body or IV fluid Electrolytes (mEq/L) Electrolytes (mEq/L) Electrolytes (mEq/L) Electrolytes (mEq/L)
Na⁺ K⁺ Cl⁻ HCO3⁻
Gastric 70 5-15 120 0
Pancreas 140 5 50-100 100
Bile 130 5 100 40
Ileostomy 130 15-20 120 25-30
Diare 50 35 40 50

RL solutions 130 4 109 28
0.9% Na|Cl 154 0 154 0
0.45% NaCl 77 0 77 0

KEADAAN KLINIS YANG KHUSUS
Stenosis pylorus hipertropikan
Morbiditas pada stenosis pylorus berkaitan erat dengan dehidrasi. Dehidrasi disini terjadi akibat kehilangan cairan dan elektrolit dengan kehilangan ion H⁺ dan ion Cl⁻ dari sekresi asam lambung. Setelah kehilangan cairan secara progresif maka akan terjadi metabolic alkalosis hipokalemia-hipokloremia. Anak dehidrasi berat akan cepat kehilangan K⁺ dan H⁺ disebabkan retensi cairan dan Na⁺ . pH urine pada dehidrasi berat akan memperlihatkan adanya “paradoxical aciduria” karena mekanisme ginjal untuk meresopsi asam akann hilang dalam me-retensi Na⁺ dan K⁺. pada ginjal yang melakukan retensi Na⁺, pada kompensasi awal akan terjadi ekskresi K⁺, sehingga aka berkembang menjadi deficit K⁺, maka ginjal akan me-retensi Na⁺ dan K⁺ jadi akan meng-ekskresi H⁺ untuk mengganti K⁺ sehingga terjadi “paradoxical aciduria”. Lingkaran setan ini hanya bisa dipatahkan dengan mengganti cairan dan elektrolit secara adeqwat. Pada anak stenosis pylorus dengan klinis dehidrasi dilakukan rehidrasi dengann pemberian terapi cairan intra vena sebelum pembedshsan dikerjakan. Diberikan D5- 0.45% NaCl iv sejumlah 1,5 kali pemberian cairanrumatan. Pada anak dengan dehidrasi berat, awal nya diberikan cairan NaCl 0.9%, bila diuresis sudah ada maka boleh diberikan KCl 10-20 mEq/L sebagai tambahan. Derajat beratnya dehidrasi bisa diperkirakan dari pemeriksaan klinis dan pengukuran kadar Cl⁻ dan HCO3⁺ serum. Derajat dehidrasi dann respons klinis terhadap pemberian terapi cairan replacement dapat dijadikan panduan u ntuk menilai selama masa persiapan prabedah. Resusitasi yang optimal ditandai oleh turgor kulitnya normal, mukosa basah/lembab, dieresis > 1 ml/kg/jam, kadar HCO3⁻ < 28mEq/dL, kadar Cl⁻ serum > 100 mEq/dL. Makan peroral biasanya bisa segera diberikan pasca bedah tanpa penyulit dan dosis makan penuh bisa diberikan setelah 24-48 jam pasca bedah. Jarang ditemukan pasca dengan kelainan elektrolit.

Gastroskisis
Penatalaksanaan cairan pada pasien gastroskisis akan sangat kompleks dan sulit, perhatian harus tertuju pada kecepatan pertukarankebutuhan pada neonates. Setelah lahir IWL akan meningkat akibat adanya paparan usus. Masalah major yang dihadapi adalah adanya : hipotermia, hipovolemia, sepsis yang perlu dilakukan pencegahan lanjut. Untuk mengurangi kehilangan suhu tubuh dan cairan, bayi dimasukan ke dalam kantong plastic.kebutuhan cairan pada bayi dengan gastroskisis bisa sampai 2,5 kali kebutuhan pada bayi aterm normal pada 24 jam pertama kelahiran. Secara umum semakin banyak usus yang terpapar maka kebutuhan cairan akan semakin banyak.
Resusitasi awal dimulai dengan bolus NaCl 0,9% atau RL 10-20 ml/kg yang ditambahkan pada cairan rumatan. Tambahan cairan isotonic diberikan sampai dieresis stabil. Secara umum volume yang diberikan antara 120-175 ml/kg/24 jam cairan D5- 0.45% NaCl dengan penambahan Kalium 10 mEq/500 cc cairan (kolf). Keseimbangan asam-basa harus dimonitor secara ketat karena sering terjadi asidosis metabolic akibat buruknya perfusi oleh hipovolemia. P;asang pipa lambung untuk mencegah distensi abdomen untuk mencegah bayi menelan udara dan aspirasi isi saluran cerna karena pasien dengan gastroskisis akan mengalami ileus berkepanjangan. Berikan antibiotic spektruk luas (ampisilin dan gentamisin) dan dirawat dalam incubator dengan suhu netral.
KEPUSTAKAAN
Disarikan dari : Medscape > eMedicine Specialities >Pediatrics : Surgery > General Surgery

Minggu, 22 Agustus 2010

DISTRES PERNAFASAN PADA BAYI

DEFINISI
Penggunaan istilah distress pernafasan merujuk pada kesulitan bernafas, yang dibuktikan dengan adanya :
-Tahipnea
-Nasal flaring
-Stridor
-Air hunger
-Retraksi atau
-Sianosis

PATOFISIOLOGI
Distress pernafasan terjadi akibat hiperkapnea atau hipoksia. Ada 3 katagori mayor sebagai penyebab distress pernafasan:
1.Gangguan ventilasi yang abnormal
2.Gangguan difusi gas
3.Shunting

Ventilasi yang abnormal:
Antara lain termasuk malformasi structural yangf menghambat aliran sejumlah udara untuk mencapai alveoli untuk pertukaran oksigen dan CO2
1.Obstruksi jalan nafas yang bisa terdapat pada setiap level dari mulai hidung (Choanal atresia) sampai bronchus (bronkhomalasia) atau penekanan dari ekstrinsik saluran nafas (vascular ring) atau kelainan intrinsic lainnya (subglottic hemangioma). Stridor timbul akibat turbulensi aliran udara disebabkan oleh sumbatan.
2.Penurunan volume paru-paru, mungkin timbul akibat kompresi dari luar, misalnya : pneumotoraks atau hernia diafragmatika, akibat replacement jaringan paru oleh tumor atau kista, atau akibat gangguan perkembangan paru congenital (agenesis atau hipoplasia)
3.Kelemahan atau kegagalan fungsi dari otot-otot pernafasan sebagai akibat perkembangan otot-otot yang tidak memadai; misalnya : eventerasio diafragma, , suatu cedera kelahiran (misalnya: pada nervus phrenicus), atau kelainan pada susunan saraf pusat

Kegagalan difusi
Terjadi akibat kegagalan alveoli oleh sebab perkembangan yang abnormal (hyaline membarane disease), aspirasi, atelectasis, pneumonia, atau gagal jantung kongestif.

Shunting
Shunting terjadi di dalam jantung (R to L) dari defek septum, dan kelainan jantung lain yang menyebabkan darah yang masuk ke arteri kekurangan oksigen menyebabkan penurunan PaO2.

TAMPILAN KLINIS
Umur timbulnya kelainan klinis dan kecepatan progresifitas timbulnya gejala merupakan temuan yang dapat memberikan petunjuk akan penyebab distress nya.
1.Onset of symptom shortly after birth, memberikan indikasi adanya kelainan malformasi mayor yang berpotensi un tuk dilakukan “life-threatening”. Misalnya : bayi dengan hernia diafragmatika, agenesis trachea, paru hipoplastik, paralisis N Phrenicus atau plica vocalis yang simptomatis sejak lahir. Hyaline membrane disease menimbulkan geejala segera setelah lahir
2.Sudden onset dari gejala yang sebelumnya baik-baik dicurigai disebabkan oleh kelainan mekanik misalnya pneumotoraks atau aspirasi
3.Restlessness, mungkin merupakan tanda awal terjadinya distress pernafasan pada bayi yang sebelumnya asimptomatik. Keadaan ini mungkin merupakan tanda yang sulit dikenali walaupun oleh seorang berpengalaman sekalipun. Takhipnea kemudian diikuti dengan keadaan dyspnea yang sebenarnya, dengan nafas cuping hidung, retraksi otot nafas, grunting dan akhirnya sianosis.
4.Stridor merupakan tanda patognomonik dari sumbatan jalan nafas bisa dimana saja mulai dari laring sampai karina. Wheezing menandakan adanya obstruksi bronkus. Opisthotonos menunjukan adanya kompresi jalan nafas, sering pada pasien dengan vascular ring

DIAGNOSIS
1.Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik memberikan temuan penting untuk menilai apakah vantilasinya adeqwat dan apakah ada sumbatan jalan nafas. Auskultasi paru sering kali keliru, karena suara nafas dengan mudah ditransmisikan dari paru sisi sebelahnya. Karena itu bayi yang sudah jelas-jelas pneumotoraks suara nafasnya masih bisa terdengar
2.Foto toraks dilakukan pada semua pasien dengan distress pernafasan. Pemeriksaan ini sangat penting dalam memberikan informasi keadaan paru-paru dan jalan nafas dan membedakan penyebab distress pernafasan nya apakah surgical atau non surgical. Foto upright film lebih akurat dibanding supine untuk membedakan antara hwernia diafragmatika dengan kista paru atau antara emfisema lobaris dengan pneumotoraks
3.Pasang pipa lambung melalui nares untuk menyingkirkan kemungngkinan adanya choanal atresia, masuknya pipa lambung sampai gaster menyingkirkan adanya atresia esophagus
4.Laringoskopi dilakukan s ebagai tindakan emergensi bila terjadi obstruksi jalan nafas. Obstruksi saluran nafas bagian atas sering bisa diatasi dengan pemasangan pipa endotrakheal.
5.Bronkhoskopi diindikasikan pada semua pasien d engan stridor tetapi tidak sesuai dengan distress nafas yg signifikan. Pemeriksaan nini sederhana dan akurat untuk menegakan diagnose yg khusus dan menentukan apakah perlu pembedahan untuk koreksi anatomis.
6.Soft tissue x-rays leher bisa memberikan temuan penting untuk diameter saluran nafas dan kemungkinan adanya kompresi dari luar
7.Esofagogram dilakukan bila diduga adanya vascular ring
8.Analisa gas darah arteri, membentu penatalaksanaan dan memilah antara sianosis oleh s ebab kelainan jantung dengan kelainan paru-paru. Sianosis yang disebabkan kelianan jantung walaupun diberikan oksigen 100% tetap tidak berubah sedangkan kelainan paru akan membeik bila diberikan oksigen 100%.

DIAGNOSA DEFERSIAL
Sebagian besar kelainan yang menyebabkan gangguan mekanik ventilasi bisa ilakukan pembedahan, sedangkan kelainan diffuse biasanya membaik dengan medikamentosa.
Obstruksi jalan nafas

1.Nasofaring
a.Absent nares
b.Choanal atresia
c.Encefalokel
d.Teratoma

2.Mouth
a.Macroglosia
b.Piiere Robin Syndrome
c.Hypopharingeal cyst
d.Lingual thyroid

3.Laring
a.Paralisis pita suara
b.Laryngomalacia-congenital laryngeal stridor (CLS)
c.Laryngotrcheal hemangioma
d.Laryngotrcheal lymphangioma
e.Laryngotracheoesophageal cleft

4.Neck
a.Cystic hygroma
b.Goiter

5.Trachea
a.Subglotic stenosis
b.Subglotic cyst, hemangioma
c.Tracheomalacia
d.Tracheal stenosis
e.Tracheal atresia
f.Vascular ring

6.Bronchi : bronchomalacia

Reduce lung volume
1.Diaphragmatic hernia
2.Agenesis of the lung
3.Pneumothorax
4.Chylothorax
5.Lobar emphysema
6.Lung cyst
7.Cystic adenomatoid malformation

Impaired muscle function
1.Phrenic nerve injury
2.Eventeration of the diaphragm
3.Absent abdominal muscle
4.Spinal paralysis

Impaired diffusion
1.Hyaline membrane disease

2.Aspiration
a.Meconeum aspiration
b.Esophageal atresia
c.Tracheoesophageal fistula (TEF)
d.CNS disease

3.Atelectasis

4.Pneumonia

5.Pulmonary hemorrhage

6.Interstitial emphysema

7.Wilson-Mikity syndrome (pulmonary dysmaturity syndrome pada bayi premature kecil)

8.Transient tachypnea of the newborn

9.Congestive hearth failure

TREATMENT
Specific treatment akan dibicarakan dalam diskusi khusus dengan berbagai variasi kelainan. Beberapa terapi secara umum akan dibahas sebagai berikut :
1.Intubasi endotracheal dilakukan untuk, baik diagnose obstruksi jalan nafas maupun sebagai treatment yakni membantu memperbaiki ventilasi. Kesalahan yang sering terjadi adalah memilih ukuran pipa terlalu besar atau meletakannya terlalu dalam. Posisi pipa harus dipastikan dengan foto thorax
2.Assisted ventilation harus dilakukan secara khusus pada pasien hernia diafragmatika dan pada pasien dengan lobar emphysema yang mana bila diberikan berlebihan bisa menyebabkan rupture paru yang berakibat terjadi nya secara cepat tension pneumotorax.
3.Tension pneumotorax dapat di treat emergensi dengan pemasangan needle-catheter (angiocath) diikuti dengan pemasangan pipa torax.
4.Beware of fatique.

Sabtu, 15 Mei 2010

INTUSUSEPSI

Intussusepsi adalah suatu kelainan didapat dari suatu obstruksi usus, yang mana suatu bagian usus tenggelam masuk ke dalam lumen usus di bagian distalnya. Kompresi pembuluh darah dari mesenterium menyebabkan obstruksi limfatik dan vaskuler dengan odem sekunder. Lumen usus intususepien tersumbat oleh usus intususeptum yang akan menyebabkan usus bagian proksimalnya berdilatasi dan kolik. Bagian usus yang menawali intussuseptum disebut “lead-point”

Penyebab patologis pada intussusepsi hanya 10%, tetapi diantaranya:
1. Divertikel Meckel
2. Polyp usus
3. Duplikasi usus halus
4. Perdarahan sub mukosa pada Penyakit Henoch-Schonlein Purpura
“idiopatic Intussusception” sering terjadi antara umur 3 bulan – 2 tahun, dimana “lead-point” bisa terjadi pada umur berapapun. Adanya hiperplasi dari plaque peyeri akan masuk ke dalam “ileo-coecal valve” didorong oleh gerakan peristaltik usus

Penjelasan mengenai “mengapa intussusception banyak terjadi pada umur 4 – 7 bulan :
1. Mulai terjadi penyapihan imunitas pasif dari ibu atau penyapihan ASI
2. Paparandari berbagai penyakit meningkat
3. Sistim imunitas sangat reaktif, menimbulkan pembesaran plaque peyeri dengan infeksi
4. Pada bayi Ileum terminal relatih lebih sempit, merupakan predisposisi terjadinya oklusi

Tampilan klinis :
Kapan pun bila bayi memperlihatkan keadaan muntah-muntah disertai keadaan umum yang menurun, harus dipikirkan kemungkinan intussusception sebagai salah satu kemungkinan diagnosisnya. Pada kenyataannya muntah-muntah merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada intususepsi dimana kolik tidak selalu dikenali misalnya pada beberapa bayi- bayi kecil. Penjelasan untuk hal sebagai berikut :

Karakteristik nyeri pada bayi :
1. Subjective sensation, immature interpretation
2. Lack of body immage-pain not well localized to anatomical site
3. Lack of speech – pain not described
4. Pain recognized by its refdlex autonomic effect :
a. Vomiting
b. Pallor
c. Screaming
d. Pulling up the knees
e. Sweating
5. Pain may not be present in some infants with intussusception

Pada bayi-bayi kecil sulit nenginterpretasikan sepenuhnya apa yang dirasakan, bahasa tubuhnya tidak bisa sepenuhnya menggambarkan apa-apa yang dirasakannya ditambah lagi belum bisa bicara. Karena itu pengenalan dari sensasi nyeri pada bayi tergantung pada kemampuan klinikus untuk mengenali respons reflex yang menginduksi bayi, antara lain : muntah, pucat, berkeringat, menjerit melengking, dan menarik kedua lututnya yang sering juga diperlihatkan pada bayi yang tidak kesakitan. Pada situasi tipikal yaknin kolik sedang sampai berat 1 – 2 serangan kolik akan diselingi oleh interval bebas nyeri selama lebih dari 10-20 menit. Bila sibayi menangis menjerit dengan mengangkat ke dua lututnya, biasanya orang tuanya tidak akan mengalami kesulitan mengelanali adanya nyeri. Bila nyerinya begitu hebatnya, si anak, biasanya tidak ingin menjerit, keadaan ini mungkin hanya dikenali dengan adanya gejala yang tidak spesifik, misalnya mu tah, pucat dan berkeringat.

Gejala Persentase
Vomiting 90%
Colicky abdominal pain 80% - 90%
Lethargi 70%
Pallor 65%
Blood in the stools (late) 55%
Diarrhoea (early) 30%
Recent upper respiratory tract infectio 25%

Muntah pada intususpsi mempunyai distribusi bimodal; yakni :
1. Waktunya relativ pada awal serangan intusepsi, dimana muntah merupakan refleks dini yang terjadi sampai isi lambung kosong, diikuti masa interval dimana muntahnya berkurang/ menghilang
2. Bila diagnosisnya terlambat ditegakkan, biasanya akan terjadi lagi muntah, sekunder akibat obstruksi usus oleh intususepsi yang biasanya terjadi pada ileum terminal.

Adanya paralitik usus akan menyebabkan kesulitan membedakan antara gastroenteritis dan intususepsi. Pada intusespsi. Pada intususepsi peristaltik meningkat, evakuasi feses awal dimana kolonya kosong, maka tidak akan ada b.a.b darah. Pada awalnya akan ditemukan diare beberapa banyak dan berulang kali. Adanya darah – lendir relatif merupakan gejala yang lambat timbulnya. Kongesti mukosa pada intususepsi, akan mengawali terjadinya b.a.b darah-lendir. B.a.b. darah tidak ditemukan pada fase awal, karena pada awalnya intususeptum tidak mengalami pendarahan. Dengan berjalannya waktu, menyebabkan kongesti lebih lanjut dan berakibat terjadinya gangren.
Pada pasien intusepsi sering diawali adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas (yang mungkin merupakan asal muasal dari mikro organisme penyebab pembesaran plaque Peyeri). Nyeri kolik mungkin akan menyebabkan anak menjerit dan pucat, kedua tungkai dingkat dengan tangan memegang perut. Bila anaknya terus bergerak selama episode serangan nyeri, merupakan bukti tidak adanya, begitu ada inflamasi pada peritonium, maka anak akan tinggal berbaring tidak bergerak. Diantara serangan kolik bayi akan pucat dan lethargik. Tanda lanjut, seperti dehidrasi, obstruksi usus atau kolaps sirkulasi menunjukan adanya progresifitas intususepsi.
Kunci dari diagnosis klinis mengarah pada kecurigaan intususepsi bila : pucat, bayi lethargik dengan muntah dan kolik, diagnosis dikonfirmasi dengan adanya massa di intra abdomen.

Tanda-tanda dari intususepsi
Tanda Persentase
Abdominal mass 70%
Rectal blood 53%
Tenderness 40%
Dehydration (greater than 5%) 15%
Rectal mass 10%
Peritonitis 5%
Shock 5%

Pendekatan secara menyeluruh sebagai berikut :
Anak harus diperiksa untuk mencari tanda-tanda dehidrasi atau insufisiensi sirkulasi, bukti-bukti adanya in feksi saluran nafas atas. Pemeriksaan abdomen harus dilakukan pada saat episode nyerinya reda; kolik pada intususepsi ahir hanya berlangsung beberapa menit saja, jadei pemeriksaan abdomen dapat dilakukan pada saat nyerinya sudah reda. Adanya konstipasi harus dicari dengan palpasi dimana ditemukan feses yang keras di kolon kiri dan sigmoid. Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk mencari adanya nyeri tekan dan defans muskuler, keadaan ini menunjukan adanya peritonitis.
Appendisitis jarang ditemukan pada insidens kelompok umur dimana intususepsi sering terjadi, tetapi kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan terhadapnya, dimana nyeri nya tidak atmpak sebagai nyeri kolik.
Bila palpasi pada intususepsi teraba massa, ini menegakkan diagnosis. Massa nya berbentuk sosis dan biasanya terletak sebelum otot rektus abdominis kanan di bagian abdomen kanan, tetapi mungkin saja terletak menyilang garis tengah di atas umbilikus. Fossa iliaca kanan sering teraba kosong. Massa abdomen mungkin saja sulit diraba, hal sering terjadi bila disertai adanya distensi abdomen atau adanya nyeri tekan. Dan hampir kebanyakan terletak di medial abdomen, agak ke tengah dari “surface marking” normal dari kolon. Sejalan dengan berlanjutnya intususepsi, mesenteriumnya ikut terbenam ke dalam intususepstum yang menyebabkan penarikan kolon kearah pangkal mesenterium dibalik muskulus rektus abdominis. Massa bisa teraba di tepi lateral rektus kanan, tetapi biasanya perabaan paling jelas di garis tengah di sebelah atas umbilikus. Pada titik ini, posisi kolon paling dekat dengan dinding anterior abdomen oleh adanya vertebra dan pembuluh darah besar diposteriornya. Tangan pemeriksa diletakan secara lwembut di epigastrium sampai abdomen anak terasa relaks, kemudian ujung jari pemeriksa digerakan maju-mundur dipermukaan rektus menyilang arah horizontal sambil merasakan adanya massa berbentuk sosis. Tetapi palpasi dari massa pada intususepsi sering sulit bila massa berada di belakang muskulus rektus abdominis atau bila abdomennya distensi.
Pemeriksaan rektum biasanya kosong. Adanya darah pada tangan atau terabanya “lead-poinht” merupakan tanda lanjut dari suatun intususepsi. Pemeriksaan rektum juga digunakan untuk menyingkirkan konstipasi bila ada kesulitan menegakkan diagnosis. Pada 10% kasus, apeks intusuespsi teraba di rektum dan kadang-kadang keluar dari anus dan harus dibedakan dengan prolapsus rekti. Pemeriksaan yang dilakukan adalah dengan cara meraba sulkus antara protrusi mukosa dan tepi anus. Pada prolaps intususepsi, tidak teraba fornik pada colok dubur. Sedangkan pada protrusi mukosa oleh sebab prolapsus rekti, segemennya teraba pendek, sehingga pada colok dubur qkan teraba “blind ending fornix”.
Bila diagnosis intususepsi sudah ditegakkan pada anak diluar usia insidensnya, pemeriksaan klinis langsung mencari kemungkinan penyebabnya. Pada prakteknya, hanya kondisi penyebab intususepsi yang mempunyai manifestasi eksternal saja yang bisa dikenali; misalnya: Henoch-Schonlein Purpura dan beberapa yang memiliki polyposis. Karenanya pada anak-anak besar dengan intususepsi, paha dan pantatnya harus diperiksa untuk mencari purpura/ pendarahan dibawah kulit (HSP). Urine harus diperiksa untuk mencqri adanya proteinuria dan hematuria. Polyposis jarang menimbulkan intususepsi pada bayi atau anak kecil, karena polyps memerlukan waktu beberapa tahun untuk tumbuh mencapai ukuran yang bisa menyebabkan intususepsi, biasanya terjadi pada anak berumur lebih dari umur 5 tahun. Pada Peutz Jehger Syndrome (PJS), terdapat pigmentasi sekitar mukokutaneus junction mulut dan anus.

RANGKUMAN PENTING
1. Puncak insidens untuk intususepsi adalah umur 4 bulan – 7 bulan, tetapi oleh berbagai kondisi bisa terjadi pada umur berapapun.
2. Intususepsi yang terjadi pada anak berumur > 3 tahun harus dicurigai adanya penyakit yang mendasari; misalnya poliposis pada Peutz Jehgers Syndrome
3. Nyeri merupakan gejala subjektif pada intususepsi, mungkin tidak dikenali bila terjadi pada bayi-bayi, sehingga memerlukan interpretasi dari gejalan ini
4. Teriakan kesakitan intermiten mungkin dapat dikenali sebagai kolik, tetapi “intermitten pallor tanpa adanya tangisan kesakitan juga bisa terjadi pada kolik
5. Waspada bila ada kolik dan muntah pada bayi tanpa diare: ini merupakan tanda bahaya pada diagnosis gastroenteritis bila disertai muntah persisten untuk > 24 jam
6. Waspada bila bayi dengan malaise berat dan lethargy setelah mengalami muntah berkepanjangan : dehidrasi dan syok mungkin akan menyerupai meingitis
7. Waspada pada bayi dengan muntah dan diare yang berhenti, karena intususepsi ileokolik menyebabkan refluks evakuasi dari distal kolon dan menyerupai gastroenteritis, ini biasanya terjadi pada fase dini
8. Berak darah lendir merupakan tanda lanjut dari intususepsi: diagnosis tidak boleh terlambat sampai ini tampil
9. Massa abdomen pada intususepsi mungkin sulit dikenali, mungkin karena terletak di balik muskulus rektus abdominis, nyeri atau karena distensi
10. Bila nyeri kolik hebat berlangsung > 2 jam pada bayi, harus segera dicari kemungkinan adanya intususepsi
11. Diagnosis dengan enema harus dikerjakan bilamana kita kesulitan membedakan gastroenteritis dengan intususepsi

Kamis, 13 Mei 2010

KOLIK ABDOMEN PADA ANAK
Nyeri kolik dengan atau tanpa disertai muntah, sering ditemukan pada bayi dan kebanyakan bukan disebabkan kelainan patologis yang bermakna. Kebanyakan kolik disebut sebagai “colic of infancy” atau “wind colic” suatu keadaan dimana hanya sedikit saja yg bermakna, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Kemungkinan disebabkan oleh menelan udara, konstipasi, atau motilitas usus yang immatur. Tampak pada bayi pada umur sampa 3 bulan pertama ditandai dengan serangan episodik berupa menangis yang sulit dihentikan atau tiba-tiba menjerit tak tentu waktu, tetapi biasanya 1-2 jam setelah minum, tidak progresif dan tidak berhubungan dengan puntah, dqan pada bayi biasanya hilang sendiri.

PENYEBAB KOLIK PADA BAYI DAN ANAK :
Wind colic
Gastro-enteritis
Konstipasi
Intususepsi
Apendisitis (fekolit)
Obstruksi usus :
- Kongenital
- Acquired (adhesi)
Henoch-Schonlein purpura

Konstipasi jarang terjadi pada bayi yang diberi ASI, tetapi mungkin terjadi pada anak yang sudah diberi makanan tambahan, kadang-kadang pada kolon kiri teraba feses atau berupa massa fese keras terdapat pada rektum dan anal kanal.
Penyebab lain yang lebih serius pada kolik adalah intussusaepsi yang sering terjadi apada umur-umur 3 – 12 bulan. Penyebab obstrksi usus oleh kelainan kongenital dan didapat yang lain jarang sekali di temukan dan mungkin dikelirukan dengan intusussepsi tetapi akan diketahui pada waktu di laparatomi. Obstruksi usus yang disebabkan oleh adhesi bisa diperkirakan pada pasien yang pernsah dilsakukan pembedahan abdomen. Penyakit sistemis, antara lain Penyakit Henoch-Schonlein purpura, mungkin mensimulasi terjadinya intusussepsi. Kemungkinan HSP disebabkan adanya vasculitis allergica menyebabkan perdarahan submukosa yang dapat menyebabkan obstruksi usus intermitten dan kadang-kadang menjadi “leading point intussusepsi
Pada bayi-bayi yang kolik di sertai dengan muntah, diagnosis deferensialnya kemungkinan antara gastero-enteritis dan intussusepsi. Sedangkan apendisitis jarang dijumpai pada anak-anak berumur dibawah 3 tahun.

Jumat, 26 Maret 2010

Komplikasi pemasangan pipa rektal untuk dekompresi rektosigmoid pada Penyakit Hirschprung






Pipa rektal sering digunakan sebagai alat dekompresi rektosigmoid pada obstrksi fungsional "hindgut", misalnya pada Penyakit Hirschsprung, spasme ani karena iritasi anus pada anak diare dengan heygiene perineum yang buruk. Prosedur ini tampaknya mudah dan praktis digunakan, tetapi memerlukan pengetahuan anatomis rektosigmoid disertai keterampilan dan kesabaran, tidak boleh melakukannya dengan kasar. Akibat yang bisa ditimbulkan karena pemasangan yang tidak hati-hati bisa fatal dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Misalnya perdarahan mukosa rektum yang sulit dihentikan atau bahkan terjadi perforasi pada pangkal rektum, dimana batas rektum dengan sigmoid ini membentuk lengkungan, sehingga memungkinkan terjadinya salah jalan menembus usus.

Anjuran kami;
1. indikasi harus jelas; yakni adanya obstruksi fungsional hindgut
2. yang melakukan prosedur harus orang yang memahami anatomis rektosigmoid
3. gunakan pipa rektal silikon/ siliconize dengan ukuran sesuai umur yang diberi pelumas (jelly), untuk neonatus gunakan Folley catheter no. 16-18 F tergantung berat badan lahirnya
4. sebelum pemasangan hendaknya diperhitungkan kemungkinan kedalaman pipa yang akan dimasukan (lihat pada foto abdomen : prone dg projeksi lateral cross table)
5. selama pemasangan harus diperhatikan apakah ada udara yang keluar atau feses yang menyemprot?
6. lamanya masa pemasangan tergantung tujuan dan kebutuhan nya sesuai dengan keadaan klinis

Keterangan foto :
Pada foto polos : tampak pipa rektal masuk sampai dekat epigastrium
pada foto colon inloop : extrapassase contras ke tepi liver kanan
Intra bedah didaapati : perforasi rektum longitudinal sepanjang 2 cm mulai 4 cm dari pelvic floor ke arah posterocranial
catatan : perforasi pada Penyakit Hirschsprung oleh sebab adanya peningkatan tekanan intra lumen akan ditemukan perforasi pada sekum sisi ante mesenterial diantara 2 tenia

Rabu, 17 Maret 2010

PEMBEDAHAN EMERGENSI PADA ANAK

PEMBEDAHAN EMERGENSI PADA ANAK
Status pembedahan pada penatalaksanaan kasus bedah anak, bisa sebagai pembedahan emergensi, pembedahan elektif maupun pembedahan “urgent”.
PEMBEDAHAN EMERGENSI
Definisi. Pembedahan emergensi adalah suatu pembedahan yang harus sudah dikerjakan sesegera mungkin dalam beberapa jam (kadang-kadang sudah harus dikerjakan segara dalam beberapa menit kemudian) olehn karena derajat beratnya penyakit. Dimana kondisinya memerlukan pembedahan segera untuk penyelamatan hidup atau oleh karena adanya perburukan yang progresif yang dapat meningkatkan morbiditas.
Tujuan persiapan untuk pembedahan. Persiapannya sama dengan mempersiapkan pembedahan elektif; untuk meminimalkan risiko pembedahan dengan cara meng-optimalkan kondisi pasien. Dimana terdapat 3 perbedaan yang bermakna antara lain:
1. Adanya ketidak seimbangan fisiologis yang serius oleh sebab “underlying illness” (shok, asidosis, sepsis)
2. Koreksi keadaan fisiologis yang abnormal tidak mungkin dicapai sampai pembedahan itu sendiri dikerjakan untuk menghilangkan penyebabnya.
3. Keterbatasan waktu untuk melakukan koreksi secara lengkap, pasien harus dilakukan resusitasi.

Resusitasi. Resusitasi dilakukan dengan memperhatikan keadaan sebagai berikut :
1. Pemulihan volume darah
2. Menstabilkan ventilasi yang adekwat
3. Koreksi terhadap asidosis
4. Memulihkan keseimbangan elektrolit
5. Mengganti difisit cairan
6. Koreksi terhadap difisit pembekuan darah
7. Mengendalikan sepsis
Pemulihan volume darah. Perfusi yang tidak adekwat akan menghambat fungsi seluruh organ, keadaan ini akan menghalangi oksigenasi jaringan yang adekwat, meningkatkan asidosis. Kecuali pada sedikit pasien yangn dilakukan pembedahan segera untuk mengehntikan proses eksanguinasi pendarahan. Tidak ada satu pasien pun dibawa ke ruangan bedah sampai volume darahnya diperbaiki.
1. Sejumlah besar larutan garam fisiolofis atau ringer laktat mungkin perlu diberikan dalam waktu cepat pada pasien shok yang disebabkan oleh hipovolemia. Bila kehilangan darah atau plasma juga harus segera diganti.
2. Terapi bolus 10 ml/kg harus diberikan dalam 10 – 15 menit, bisa diulangi sampai terbukti secara klinis perfusinya pulih : frekwensi denyut nadi menurun, tekanan darah meningkat, sirkulasi kulit membaik, urine out put

Menstabilkan ventilasi yang adekwat. Oksigenasi hanya sekunder terhadap perfusi, yang merupakan kebutuhan primer untuk pulihnya fungsi jarinan:
a. Kemungkinan diperlukan Endo tracheal tube dan bantuan ventilasi
b. Berikan oksigen
Koreksi terhadap asidosis. Tindakan menstabilkan kembali perfusi merupakan tindakan yang penting untuk mengatasi asidosis. Oksigenasi yang adekwat juga penting. Bikarbonat harus diberikan, tetapi bilamana hipoperfusi dan hipoksianya tidak di koreksi, maka bikarbonat hanya berperanan sedikit saja.
Memulihkan keseimbangan elektrolit. Pemulihan secara lengkap menjadi normal diusahakan sedapat mungkin dengan pemberian intra vena untuk memperbaiki gangguan elektrolit serum.
Memulihkan defisit cairan. Pada obstruksi usus, muntah yang terus menerus, peritonitis, sepsis, dan pada kasus-kasus trauma menyebabkan banyak kehilangan cairan. Kekurangan cairan tidak memerlukan koreksi secara lengkap pada masa prabedah, tetapi sudah mulai tampak perbaikannya secara progresif.
Memperbaiki mekanisme pembekuan darah. Bila terdsapat gangguan pembekuan darah, pemeriksaan dasar (hitung trombosit, PT, PTT) apakah sudah indikasi untuk dilakukan koreksi, mungkin sudah terdapat DIC, sehingga diperlukan FFP, atau faktor pembekuan dan trombosit.
Kontrol terhadap sepsis. Pada banyak kasus, hal ini tidak mungkin samapai dilakukan pembedahan. Adapun pemberian antibiotik intra vena dosis tinggi mungkin dapat mencegah perluasan lebih lanjut.
Resusitasi emergensi. Pada resusitasi emergensi tidak menitik beratkan pada status nutrisi prabedah pasien, pada sebagian kecil bisa dilakukan pemberian nutrisi dalam waktu yang singkat saja.
Penjelasan kepada orang tua pasien. Penjelasan ini sangat penting disampaikan sebelum pasien di bawa ke kamar bedah.
1. Sebagai tanggung jawab spesialis bedah harus menjelaskan apa yang terjadi pada pasien tersebut, dan apa yang akan dikerjakan dengan cara sebaik-baiknya. Orang tua pasien tentunya akan sangat berharap anak nya bisa bertahan, dokter harus berusaha menenangkan kedua orang tuanya tanpa harus berbohong akan keadaan pasien yang sebenarnya.
2. Penjelasan dokter pada saat pasca bedah tentang keadaan pasien akan sangat membantu dan mendukung keadeaan moril orang tuanya.
Daftar pemeriksaan prabedah.
1. Pipa nasogastrik sudah terpasang
2. Kanul intra vena besar sudah terpasang
3. “cross-match” darah sudah dikerjakan
4. Hasil pemeriksaan laboratorium sudah terlampir: Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, faktor pembekuan
5. Pemeriksaan “X-Ray” sudah terlampir
6. Ijin pembedahan nsudah ditanda tangani dan sudah dilampirkan

Minggu, 14 Februari 2010

Mempersiapkan bayi menghadapi pembedahan

Pembedahan pada bayi yang berumur beberapa hari pertama kehidupan, dengan sedikit kekecualian, dilakukan hanya untuk kondisi “life threatening”. Malformasi anatomis mungkin menyebabkan gejala dini dan berat (hernia diafragmatika). Pada awalnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bisa secara cepat menyebabkan perubahan patofisiologi yang serius (imperforate anus), atau asimptomatis tetapi memerlukan pembedahan “urgent” (neuroblastoma)
1.Fasilitas pelayanan; neonatal surgical center
a. Tim perawatan bedah neonatus yang kompak
i. Spesialis bedah anak
ii. Neonatologist atau spesialis anak lainnya
iii. Perawat NICU yang terampil
iv. Spesialis anak dalam radiologi, anestesi, patologi
b. NICU
c. Laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan mikro yang siap 24 jam perhari
2.Resusitasi. Bayi yang tidak stabil dengan dekompensasi pernafasan, hipovolemia, syok atau asidosis harus dilakukan resusitasi sebelum dilakukan pembedahan. Koreksi sepenuhnya terhadap kedaan fisiologis yang abnormal kemungkinan tidak bisa dicapai, tetapi semua upaya untuk memperbaiki oksigenasi dan perfusi jaringan sebelum pembedahan.
a. Treatment dilakukan lebih dulu dari diagnosis dan evaluasi. Hipoksia dan hipovolemi harus segera diatasi sesegera mungkin untuk mencegah kerusakan organ yang irreversible. Hal ini mungkin dikerjakan sebelum penyebab sebenarnya benar-benar di ketahui dengan pasti
b. Ventilasi merupakan prioritas pertama. Untuk mencqapai pertukaran udara yang adekwat dan oksigenasi, biasanya di lakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan bantuan ventilasi pada anak yang sakit berat. Pemeriksaan analisa gas darah arteri merupakan pemeriksaan utama pada pasien dengan ventilator, pasang kateter pada arteri umbilikalis atau radialis.
c. Volume darah harus segera dipulihkan dengan pemberian normal saline (bukan D5% atau 1/5 NS), baik puladiberikan plasma dan sel darah merah bila diperlukan.
i. Perfusi jaringan yang adekwat merupakan yang utama untk fungsi organ dan serangan asidosis. Tidak ada pasien yang boleh dilakukan pembedahan sampai volume darah pulih bagaimanapun berat sakitnya.
ii. Sejumlah besar cairan kemungkinan perlu diberikan. Paling banyak kesalahan terbesar pada penatalaksanaan hipovolemia adalah “ too little, too slow”
iii. Terapi bolus (10ml/kgBB dalam 10 menit)bisa dilakukan berulang sampai terbukti adanya re-ekspansi volume darah dan perfusi jaringan: penurunan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah, perbaikan perfusi kulit (warna dan kehangatannya), dan meningkatnya produksi urine.
d. Asidosis sedapat mungkin dikoreksi.
i. Asidosis respiratorik dikoreksi dengan pemberian ventilasi yang adekwat
ii. Metabolik asidosis dikoreksi dengan melakukan re-ekspansi volume darah yang akan memperbaiki perfusi jaringan menghentikan metabolisme anaerob
iii. Bikarbonas natrikus harus diberikan (1 mEq/kgBB/menit), tetapi ini tidak diberikan pada perfusi jaringan dan ventilasi yang adekwat, karena kemungkinan terjadinya hipernatremia
e. Elektrolit. Ketidak seimbangan elektrolit dan “total fluid deficit” tidak dapat dikoreksi sepenuhnya pada pra-bedah. Perbaikan kekeadaan normal akan menurunkan risiko anestesi dengan memperbaiki fungsi organ
f. Koagulasi. Keadaan koagulasi yang abnormal dikoreksi dengan pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP), trombosit, dan vitamin K (1mg IM)
g. Antibiotik. Diindikasikan karena adanya hipoksia jaringan sangat menurunkan resistensi terhadap invasi bakteri. Ampisilin, gentamisin, dan clindamisin efektif untuk sebagian kebanyakan organisme penyebab infeksi
3. Anomali kongenital yang terkait
a. Prematuritas. Prematuritas sering terkait dengan kelainan yang bisa menyebabkan kematian bila dilakukan pembedahan pada bayi baru lahir.
b. Anomali sering ditemukan multipel. Bila didapati suatu anomali maka harus dicurigai dan dicari kemungkinan adanya kelainan kongenital lain yang bersamaan dengan embriogenesisnya.
c. Anomali berat yang berkaitan
i. Decompensated congenital hearth disease mungkin memerlukan terapi sebelum pembedahan; misalnya pada atresia esofagus atau duodenum
ii. Pembedahan tidak diindikasikan pada bayi dengan kelainan otak yang tidak ada harapan sembuh, misalnya anenchefali, atau kelainan kromosomal yang fatal
4. Penentuan risiko pembedahan. Risiko pembedahan tergantung kemampuan mekanisme homeostasis menghadapi stress anestesi dan stress pembedahan. Dalam keadaan normal, bayi sehat mempunyai toleransi yang baik terhadap pembedahan mayor tanpa kesulitan. Bayi dalam keadaan syok atau asidosis berat mungkin tidak mampu bertahan hidup bila mendapat pembiusan. Risiko pembedahan pada bayi baru lahir tergantung pada beberapa faktor, hanya beberapa yang bisa dikendalikan:
a. Penyakit bedah. Infark usus pada volvulus akan menyebabkan hipovolemia, asidosis dan sepsis. Tetapi kista sederhana intra abdomen, atau tumor mungkin tidak mempengaruhi fisiologi pada bayi. Beberapa keadaan kasus pembedahan emergensi pada bayi, patofisiologi tidask dapat dikoreksi sampai penyakitnya dikeluarkan dari tubuh.
b. Malformasi kongenital yang terkait. Misalnya; Prematur berat dan kelainan jantung kongenital berat. Menunda pembedahan mungkin masih bisa diterima
c. Pembedahannya itu sendiri. Misalnya stress dan risiko tehnik pembedahan lebih besar pada reseksi hepar dibanding dengan gastrostomi
d. Pembiusan. Variasi obat pembiusan saat ini banyak tersedisa untuk meng-eliminasi, nyeri, induksi kesadaran, dan memberikan relaksasi otot, banyak mereupakan vasodilator, cardiac depressant, hepatotoksik dan iritasi bronkeal.
i. Obat anestesi tidak boleh diberikan pada pasien dalam keadaan hipovolemia, mungkin hanya oksigen saja yang bisa diberikan.
ii. Pengendalian ventilasi dan oksigenasi, lebih baik dengan aspirasi dari sekresi trakeobronkeal memberikan keuntungan pada pemberian obast anestesi
5. “Timming” pembedahan. Penetapan saatnya pembedahan pada kasus emergensi harus mempertimbangkan semua faktor-faktor yang ada, mengenali dan memperbaiki keadaan umum
a. Resusitasi. Pemulihan volume dana dan ventiulasi, hampir selalu merupakan yang esensil. Kecuasli pada hernia diafragmatika dimana resusitasi mungkin sampai hernianya direduksi.
b. “Major threat” untuk kehidupan lebih diutamakan. Reseksi jaringan yang mati atau usus yang perforasi lebih di utamakan dari defek jantung kongenital yang serius, tapi l;ebih didahulukan dibanding repair atresia esofagus
6. Persiapan prabedah
a. Tujuan persiapan pra-bedah; yakni untuk meminimalkan risiko pembedahan dan mengoptimalkan out come. Yang paling baik dengan cara evaluasi yang akurat dari semua kemungkinan keadaan fisiologi yang abnormal dan koreksi dari semua kemungkinan
b. Pada pasien emergensi, harus seimbang antara kebutuhan untuk resusitasi dan efek progresif dari kelainan bedah yang belum dikoreksi. Lakukan koreksi yang bisa dikoreksi, tetapi jangan terlalu lama untuk kemudian dilakukan pembedahan
c. Bebrapa hal yang harus dipoerhatikan. Bervariasi tergantung kepentingannya untuk pembedahan.
i. Universal. Dilakukan pada semua pasien
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan darah lengkap
3. Injeksi vitamin K - IM
4. Pemeriksaan contoh darah anak dan ibu untuk Bank darah
ii. Emergensi. Dimana waktu berperan penting
1. Pemeriksaan Dignostik penunjang
a. Foto x-ray toraks
b. Foto x-ray abdomen dengan kontras
c. Pemeriksaan elektrolit dengan indikasi
d. Pemeriksaan analisa gas darah arteri atas indikasi
e. Pemeriksaan koagulasi atas indikasi
2. Penatalaksanaan
a. Pemulihan volume darah
b. Ventilasi yang adekwat
c. Pemulihat hematokrit
d. Mulai lakukan koreksi asidosis, imbelens elektrolit dan dehidrasi
e. Antibiotik
f. Mulai lakukan pemeriksaan tipe darah dan cross matching
g. Siapkan trombosit dan FFP
iii. Elektif. Waktu tidak menjadi perhatian
1. Pemeriksaan penunjang diagnostik. Pemeriksaan apapun yang diperlukan untuk menyingkirkan semua masalah secara lengkap.
2. Patokan terapeutikum
a. Semua parameter fisiologis harus dipulihkan ke keadaan normal bila memungkinkan
b. Keadaan nutrisi harus dalam keadaan optimal
c. Darah hartus selsalu tersedisa bila diperlukan
7. Orang tua pasien. Saran dan penjelasan. Ini merupakan hal yang utama sebagai tanggung jawab spesialis bedahnya. Harus menjelaskan secara pribadi setiap permasalahan dan kemungkinan pembedahan yang akan dihadapi kepada orang tua pasien, termasuk apakah pembedahan ini emergensi atau elektif.
a. Pembedahan emergensi.
i. Keadaannya biasanya buruk. Ibunya biasanya masih dirawat di bangasal kandungan atau di rumah sakit lain dan ayah harus menhadapinya sendiri dalan keadaan bingung. Takut anaknya akan meninggal. Kebanyakan tidak pernah mendengar tentang penyakit anaknya ini, saat ini pembedahan dapat membuat anaknya cacat. Keluarga dan kawan-kawannya tidak banyak bisa memberi dukungan.
ii. Penjelasan yang diberikan harus formal. Orang benar-benar tidak mempunyai pilihan lain pada banyalk kasus. Anak ini harus menjalani pembedahan.
iii. Orang tua harus mendapat penjelasan yang sebaik-baiknya akan masalah yang dihadapi dengan jelas, rencana prosedur pembedahan yang akan dilakukan, dan mendiskusikan akan kemungkinan hasil yang akan dicapai. Dijelaskan pula semua kemungkinan komplikasi yang mungkin dihadapi.
iv. Penjelasan harus diberikan kembali setelah pembedahan, kalau perlu dengan gambar-gambar agar lebih jelas
b. Pembedahan elektif
i. Pada pembedahan yang bukan “life threatening”, penjelasan harus diberikan sepenuhnya terhadap kemugkinan adanya risiko dan komplikasi dari pembedahan. Biarkan orang tua nya memberikan pilihan
ii. Spesialis bedahnya harus memperlihatkan simpati dan secara bebas memberikan semua jawaban yang diperlukan oleh orang tuanya
iii. Spesialis bedahnya harus memberikan rekomendasi. Keputusan ahir berada di tangan orang tuanya.

Rabu, 10 Februari 2010

Benjolan dileher, apa saja kemungkinan penyebabnya ?

Seringkali kita dihadapkan pada bayi atau anak-anak yang datang dibawa oleh orang tuanya ketempat praktek dengan benjolan pada leher.
Catatan dibawah ini mungkin bisa sedikit membantu memilah beberapa penyebab.

Definisi.
Pada anak-anak sering timbul benjolan atau pembengkakan pada leher. Sebagian besar dari massa ini merupakan lesi jinak yang tidak memerlukan pengobatan. Berhubung rendahnya risiko keganasan dan ansietas kedua orang tuanya, maka diagnosis dan pengobatan yang akurat menjadi yang esensil.
Diagnosis deferensial.
Faktor kunci pada penegakkan diagnosis benjolan pada leher adalah lokasinya, fisiknya secara alamiah, umur pasien, gejala yang berkaitan.
1. Massa digaris tengah. Limfadenopati, Kista duktus tiroglosus, kista dermoid, nodule tiroid
2. Segi tiga anterior. Limfadenopati, kista brankialis kleft, tumor kelenjar liur atau kista
3. Segi tiga posterior. Limfadenopati, metastase tumor, kista bronkogenik
Limfadenopati
Pembesaran kelenjar getah bening (pembengkakan kelenjar), paling sering dijumpai berupa benjolan pada leher ukurannya bervariasi mulai dari pembengkakan yang bisa diraba sampai beberapa cm diameternya.
1. Limfadenopati yang mungkin bisa terjadi dilokasi manapun. Lokasi yang paling sering adalah anterior dari otot sternokleidomastoideus dibawah sudut mandibula dan dibelakang telinga
2. Infeksi biasanya merupakan penyebab dari limfadenopati, sering oleh virus faringitis yang menyebabkan pembesaran “tonsilar” node di bawah sudut mandibula. Kelenjar getah beninbg ini jarang suppurasi, tetapi pembesaran KGB nya sampai beberapa bulan
3. Acute suppurative submandibular lymphadenitis disebabkan oleh infeksi stafilokokus atau streptokokus
a. Temuan klinis. Limfadenitis supurativa sering ditemukan pada anak 6 bulan sampai 3 tahun. Pembesaran KGB biasanya didahului oleh faringitis atau infeksi saluran nafas atas. Anak tampak sakit, demam, dan iritable. Pembesaran KGB tiba-tiba, eritema, terasa nyeri, dan berkembang jadi selulitis pada bagian bawah dagu, bila jadi abses maka akan ditemukan fluktuasi.
b. Patofisiologi. Tidak diketahui dengan pasti mengapa kelenjar submandibula kebanyakan cenderung menjadi infeksi piogenik. Sebelum faringitis streptokokus, hanya kadang-kadang timbul
c. Penatalaksanaan. Pemberian antibiotik; ampisilin 25 mg/kgBB qid. Sering kali pada banyak kasus berubah menjadi abses. Adanya tanda fluktuasi merupakan indikasi dilakukan drainase bedah. Insisi dan drainase dilakukan dengan menggunaka sedasi dalam tetapi bisa juga dilakukan tanpa pembiusan. Luka bedah dibalut tekan untuk hemostasis dan memungkinkan jaringan menyembuh dari dalam, dilakukan sekitar seminggu. Kekambuhan jarang terjadi.
4. Limfadenitis kronis. Pembesaran KGB yang menetap, lama setelah bukti-bukti adanya infeksi menghilang. Keadaan ini sering sekali dijumpai. Bisa disebabkan oleh infeksi banal maupun spesifik (limfadenitis tbc)
a. Limfadenitis kronis oleh infeksi banal
i. Klinis. Sering dijumpai “tonsillar nodes” . kemungkinan sebelumnya di dapati riwayat faringitis atau ISPA yang disertai pemebsaran KGB yang kemudiqan menetap setelah infeksinya berlsalu. KGB ini biasanya soliter, tidak nyeri, mudash digerakan, dan lunak.
ii. Patofisiologi. Pemeriksaan histopatologi didapati gambaran “ reactive hyperplasia” pada biopsinya
iii. Penatalaksanaan. Tidak diperlukan terapi apapun bila ukuran diameternya < 1 cm dan asimptomatik. Banyak pembesaran KGB kronis menghilang sendiri. Beberapa dilakukan biopsi.
b. Limfadenitis kronis tuberculose. Biasanya sekunder dari infeksi paru-paru. Di Indonesia sering kali dijumpai (endemis). Infeksi bisa juga disebabkan oleh mycobacterium atipik yang masuk melalui faring (jarang di Indonesia)
i. Klinis. Tidak ditemukan riwayat sakit sebelumnya, tidak ada demam maupun leukositosis, nodul membesar tetapi tidak disertai rasa nyeri atau tanda inflamasi. Setelah beberapa minggu, nodule mengalami degenerasi membentuk “cold absces”, bila tidak diobati, maka akan terdrainase spontan dan terbentuk sinus. Test PPD kulit mungkin positif atau negatif.
ii. Patofisiologi. Reaksi granulomatosa dari KGB tipikal oleh tbc
iii. Penatalaksanaan. Kuratif dilakukan eksisi dan terapi anti tbc
c. Penyakit Hodgkin. Sangat jarang ditemukan pada anak-anak pra-sekolah, tetapi frekwensi nya meningkat pada umur belasan dan dewasa muda, sering berupa “solid tumor”. Hampir 1 dalam 100 kasus pembesaran KGB, merupakan keganasan. Hal ini mungkin menyebabkan ketakuan pada para orang tua.
i. Klinis. Ada beberapa karakteristik yang merupakan indikasi adanya perubahan ganas pada KGB.
1. Tumbuh terus menerus melampaui periode beberapa minggu
2. Tanda lokal; tidak disertai rasa nyeri, kemerahan atau fluktuatif
3. Bisa ditemukan pembesaran beberapa KGB, atau single
4. Kehilangan berat badan, demam malam hari, dan malaise tanpa adanya tanda-tanda infeksi, lebih lanjut harus dicurigai adanya malignansi
ii. Patofisiologi. Penyakit Hodgkin mungkin merupakan kelompok beberapa KGB leher pada sisi yang sama, tetapi sering bilateral atau berkembang di mediastinum atau abdomen.
iii. Penatalaksanaan. Penatalaksanaan primernya dengan kemoterapi dan radiasi. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi.
Biopsi pada limfadenitis kronis. Kebanyakan pembesaran KGB tidak dilakukan pembedahan. Biopsi mungkin harus dikerjakan bila diagnosis tidak bisa ditegakkan. Pada banyak kasus, pembengkakan akan hilang dalam 6 minggu, dan menunggu dalam beberapa lama tidak akan memperburuk keadaan bila ternyata kelainan ini adalah Penyakit Hodgkin.
Indikasi eksisional biopsi pada pembesaran KGB leher
1. Nodule berukuran diameter ≥ 2 cm, dan tetap ada selama ≥ 6 minggu
2. Nodule berukuran diameter ≥ 2 cm, yang tumbuh cepat dan terus membesar dalam 2 – 3 minggu
3. Teraba keras, melekat dan tidak nyeri
5. Kista duktus tiroglosus (KDTG)
a. Etiologi. Kista duktus tiroglosus teerjadi akibat kegagalan obliterasi dari duktus tiroglosus setelah penurunan tiroid pada minggu ke 6 umur gestasi
b. Klinis. Jarang di ketemukan pada masa bayi. Di temukan sering pada masa kanak-kanak dini, berupa massa kistik di garis tengah atau drainase melalui sinus. Mungkin juga tidak tampak sampai begitu ada infeksi dengan abses baru muncul. Kista terletak di tengan atau dekat dengan garis tengah, biasanya “overlying” dengsan ossa hyoid, lebih mendekati dagu atau mungkin juga lebih mendekati sternum. Adanya protrusi lidah menandakan adanya bertumbuhnya massa.
c. Patofisiologi. KDTG, berhubungan dengan rongga mulut, memudahkan bakteri menginfeksi kista. Kista dan duktus dilapisi oleh “stratified squamous atau pseudostratified columnar epithelium dan kelenjar sekresi yang memproduksi mukus. Mungkin terdapat kelenjar gondok ektopik
d. Penatalaksanaan. Dilakukan eksisi dengan mengangkat massa nya dan sekalian mencegah kambuhnya infeksi
i. Bila kista sudah terinfeksi, berikan antibiotik. Biasanya memungkinkan untuk eradikasi infeksi, memungkinkan pembedahan di tunda dalam keadaan tidak sedang infeksi
ii. Pra-bedah dilakukan tiroid-scan
iii. Bagian tengan ossa hyoid harus dipotong diangkat bersama kistanya dan duktusnya sqampai ke foramen os hyoid. Kegagalan mengangkat badian tengan os hyoid, banyak menyebabkan banyaknya kasus residif
6. Nodul tiroid. Nodul pada tiroid harus dipikirkan pada diagnosis deferensial bila massa terletan”low anterior” leher. Dianjurkan untuk di buat tiroid scan.
7. Kista celah brankial.
a. Etiologi. Kelianan dari penutupan dan resorpsi dari celah brankial primitif dan lengkung insang nya memberi kemungkinan timbulnya kista, sinus dan massa.
b. Klinis.
i. Sinus celah brankialis. Sinus akan tampak sebagai lubang muara pada kulit di angulus mandibula (celah brankial- 1) atau sepsanjang tepi anterior m. sternokleidomastoid (celah brankial-2). Sinus dari celah ke-2 lebih sering dijumpai dan mengeluarkan air liur
ii. Kista celah brankial. Timbul pada tempat yang sama dengan sinus, tetapi mungkin sulit dibedakan dengan pembengkakan KGB atau benjolan leher lain, terutama bila terinfeksi. Kista celah brankial perta jarang ditemukan.
iii. Sisa arkus brankialis. Kecil, berupa massa kartilago terletak subkutis terletak bisa dimana saja disepanjang tepi anterior otot sternokleidomastoid atau didepan telinga.
c. Patofisiologi. Sinus celah brankial merupakan sisa embriologis yang terbuka keluar tubuh, sedangkan bila tertutup maka akan membentuk kista.
i. Celah brankial pertama meerupakan kelainan yang berhubungan dengan kanalis auditorius eksterna dan berdekatan dengan nerves fasialis
ii. Kista celah brankial kedua dan sinsus nya berhubungan fossa tonsilaris, melewati bifurkasio arteri karotis dan keluar disepanjang tepi anterior muskulus sternoklleidomastoideus
iii. Infeksi berasal dari masuknya kuman melalui kanalis auditorius eksternus atau dibawa masuk ke dalam kista bersama saliva dari faring.
d. Penatalaksanaan. Sisa brankial harus dibuang astas indikasi kosmetis dan untuk mencegah terjadinya infeksi. Bila kista terinfeksi, harus diberikan antibiotik sebelum dilakukan pembedahan. Selama pembedahan ,diseksi harus dilakukan sedekat mungkin dengan sepanjang “track” sinus u tuk mencegah terjadinya cedera pada saraf dan pembuluh darah.
8. Kista dermoid. Termasuk kista - kista berisi kelenjar sebaseus dan folikel rambut. Kista epidermoid tidak memiliki komponen terswebut. Keduanya berisi material sebasea.
a. Etiologi. Kisata dermoid dan epidermoid timbul dari elemen ektodermal dibawah permukaan kulit selama fusi embryogenik.
b. Klinis.
i. Kista dermoid banyak teredapat di ujung lateral alis (angular dermoid)
ii. Kista epidermoid sering ditemukan digaris tengah leher, sehingga sulit dibedakan dengan kista duktus tiroglosus. Bisa timbul dimana saja
c. Penatalaksanaan. Kista harus diangkat karena cenderung untuk membesar. Jarang terjadi infeksi.
9. Tumor kelenjar liur. Tumor kelejar liur sangat jarang ditemukan pada anak-anak, tetapi mempunyai bentuk lesi yang bervariasi, bisa bersifast jinak dan yang ganas. Pada bayi sering ditemukan hemangioma jinak atau limfangioma dari kelenjar parotis yang merupakan neoplasma solid seperti yang terdapat pada anak-anak. Sebagian neoplasma solid pada kelenjar liur merupakan neoplasma ganas.
a. Hemangioma merupakan tumor kelenjar liur yang paling banyak, yang secara eksklusis banyak dijumpai pada bayi
b. Pada pemeriksaan; ditemukan tanda fluktuatif, lunak, massa yang asimtomatik pada kelenjar parotis.
c. Pertumbuhan tumor biasanya meningkat pada umur 12 – 18 bulan dan secaqra spontan akan mengalami involusi yang terjadi sampai umur 5 tahun
d. Diagnosis biasanya bisa ditegakkan secara klinis, tetapi biopsi dilakukan bila klinis meragukan.
e. Penatalaksanaan. Pemberian steroid mungkin bisa menghentiukan pertumbuhannya dan mempercepat involusi. Diberikan prednison 1 mg/kgBB/hari selama 6 minggu. Radioterapi tidak efektif. Pembedahan tidak diindikasikan pada lesi jinak ini, karena tingkat kesulitan pembedahannya dan risiko akan terjadinya cedera pada nerves ke-7. Eksisi diindikasikan untuk sisa deformitas setelah involusi spontan.
10. Limfangioma. Termasuk higroma kistik dari parotis atau kelenjar submaksiler yang lebihn jarang dibanding hemangioma tetapi sering kali dikelirukan antara keduanya.
a. Limfangioma biasanya akan tampak pada saat lahir dan akan cepat membesar pada beberapa bulan pertama. Bisa juga terjadi hemelimfangioma.
b. Tidak seperti hemangioma pada limfangioma harus egera dieksisi sedini mungkin sebelum menjadi lebih besar dan memerlukan insisi dan deseksi lebih luas. Sedapat mungkin menyelamatkan nerves fasialis karena ini merupakan lesi jinak.
11. “Mixed tumor” (adenoma pleomorfik) sering ditemukan sebagai tumor jinak yang solid dari kelenjar liur
a. Secara tipikal timbul setelah umur tahun ke 7 sebagai massa kerad yang asimtomatik dan tumbuhnya lambat
b. Kelenjar Parotis merupakan asal dari 90% mixed tumor.
c. Penatalaksanaanya adalah eksisi luas dari tumor, dengan perhatian untuk menyelamatkan nerves fasialis. Kemoterapi dan radiasi tidak efektif
d. Residifitas pasca reseksi bukannya tidak biasa, terutama bila tidak dikerjakan eksisi luas
12. Tumor jinak yang lain
a. Hemangioendotelioma
b. Limfoepitelioma
c. Cystadenoma
d. Neuroma
e. Lipoma
13. Karsinoma mukoepidermoid, merupsaakan tumor ganas yang paling sering ditemukan pada anak, hampir sesering “mixed tumor”
a. Tumor ini sulit dibedakan dengan mixed tumor
b. Angka kesembuhan pasca eksisi nya sangat tinggi, karena sangat jarang bermetastase jauh
14. Tumor-tumor ganas lainnya, termasuk karsinoma sel asinar, karsinoma anaplastik, adenokarsinoma, dan berbagai variasi sarkoma. Banyak sekali pasien-pasien dengan tumor ini prognosisnya buruk walaupun sudah dilakukan eksisi radikal
15. Penyakit kelenjar liur non-neoplastik
a. Parotitis epidemika. Pembengkakan difus, nyeri, tampak sakit berat, amilase meningkat
b. Batu saluran kelenjar liur. Dicurigai bilamana terdapat sialodenitis berulang. Diagnosis ditegakan bilamana adanya kalsifikasi pada foto polos. Diperlukan sialografi.
16. Indikasi pembedahan. Diindikasikan untuk hampir semua tumor pada kelenjar air liur. Pembedahan ini merupakan terapi kuratif untuk hampir kebanyakan lesi jinak dan ganas kelenjar liur. Bila diagnosis masih diragukan, dilakukan biopsi. Bila akan dilakukan eksisi radikal termasuk mengangkat neves fasialis, maka pemeriksaan histopatologi definitif harus dilakukan sebelumnya
17. Miscellaneous neck masses
a. Higroma kistik. Melekat erat, lunak, masa kistik pada leher pada bayi baru lahir
b. Kista bronkogenik
i. Etiologi. Kista bronkogenik timbul dari forgut. Banyak kista bronkogenik ditemukan pada rongga dada, salah satunya berekembang dileher. Secara histologis kista di servikal sulit dibedakan dengan kista di toraks. Dindingnya berisi tulang rawan, kelenjar mukous, jaringan elastik, dan otot polos
ii. Temuan klinis. Licin, pembengkakan globuler disebelah anterior atau dibagian sebelah dalam otot sternokleidomastoideus. Kista bisa membesar ≥5 cm. biasanya asimtomatis, tetapi bisa juga terjadi disfagia akibat kompresi kista terhadap esofagus. Pada pemeriksaan sonografi atau CT scan didapati adanya dinding kista yg tebal.
iii. Penatalaksanaan. Eksisi kuratif
c. Tumor jaringan lunak. Tumor jinak maupun ganas bisa berkembang dari jaringan lunak pada leher dan timbul sebagai tumor asimtomatik. Rabdomiosarkoma paling sering ditemukan pada leher. Bisa juga berupa Lipoma, fibroma, neurofibroma, fibrosarkoma, liposarkoma, neurofibrosarkoma, tetapi sangat jarang
d. Metastase tumor. Neuroblastoma meerupakan tumor yg sering bermetastase ke leher pada anak. Bila tumor terdapat di segi tiga posterior atau supraklavikula, tumbuh dengan cepat, maka harus dicurigai adanya tumor metastase. Diindikasikan untuk biopsi
e. Tortikolis. Teraba sebagai pada keras, terdapat pada otot sternokleidomastoid pada bayi baru lahir.

Senin, 08 Februari 2010

Pembedahan pada anak, kapan sebaiknya merujuk ?

TIMMING” MERUJUK PASIEN BEDAH ANAK
(PENENTUAN WAKTU PEMBEDAHAN PADA KASUS BEDAH ANAK)

Penentuan waktu pembedahan elektif pada anak didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut :
1. Umur anak.
a. Pembedahan pada bayi dan anak mempunyai 2 risiko yang harus dihadapi; yakni risiko narkose dan risiko pembedahannya sendiri. Semakin dini umur bayi, maka risiko untuk menghadai pembedahan (narkose dan tindakan pembedahan) semakin besar. Dengan demikian pembedahan pada bayi yang baru berumur beberapa hari, hendaknya dimaksudkan hanya untuk kondisi tertentu sebagai “life threatening”.
b. Kapasitas penyembuhan dan adaptasi pada umur muda akan lebih baik dsan sempurna daripada umur anak yang lebih besar. Ruang tumbuh nya lebih besar pada umur yang lebih muda
c. Perkembangan anatomisnya sedang berlangsung. Semakin kecil umurnya semakin sulit identifikasi jaringannya. Selain itu ada beberapa penyakit yang bisa regresi atau menghilang secara alami dengan semakin bertambahnya umur
d. Perkembangan fungsi organ juga memberikan kontribusi pertimbangan terhadap waktu pembedahan, misalnya fungsi fonasi pada kemampuan bicara. Bila memori bahasa (bicara) pada anak dengan sumbing langitan sudah terbentuk, maka walaupun sumbingnya sudah di koreksi dengan baik tetapi kemampuan berbicaranya masih dengan nada fonasi semula, sehingga memerlukan terapi wicara untuk bisa melatih ulang fungsi bicaranya. Demikian juga kemungkinannya pada fungsi defekasi pada pasien-pasien yang sejak bayi sudah dilakukan kolostomi. Juga pada fungsi penglihatan, fungsi pernafasan, fungsi jantung, fungsi ginjal dan fungsi hemostasis terutama pada bayi.
e. Keadaan psikologis dan kosmetis. Di Indonesia yang masih memegang adat dan tradisi kekeluargaan yang kuat, sering kali kecacatan bawaan menyebabkan “rasa malu” bagi keluarga, dan tak jarang menjadi penyebab terjadinya konflik dalam keluarga, sehingga memerlukan koreksi lebih awal tanpa mengurangi perhatian kita pada risiko-risiko pembedahan. Selain itu kecacatan juga sangat mempengaruhi perkembangan jiwa “si anak” itu sendiri, dalam keadaan demikian hendak koreksi bedah dilakukan sebelum pasien memasuki masa usia sekolah.
2. Keadaan anak yang optimal
a. Keadaan gizi anak. Keadaan gizi sangat berpengaruh terhadap proses penyebuhan dan daya tahan anak terhadap stress narkose dan pembedahan. Mungkin diperlukan waktu beberapa lama untuk meningkatkan keadaan gizinya sebelum dilakukan pembedahan. Perlu diperhatikan berat badan, dan kadar hemoglobin
b. Semua kinerja organ harus dalam kondisi optimal untuk dapat menghadapi stress narkose dan pembedahan. Bila diperlukan dapat segera dilakukan pengobatan sebelum dilakukannya waktu pembedahan, terutama pada pembedahan mayor.
c. Adanya infeksi akut. Infeksi akut yang sering dijumpai pada anak adalah infeksi saluran nafas, dimana banyaknya sekresi lendir dapat mengganggu pembiusan dan proses pulih sadarnya. Harus juga diperhatikan bahwa anak masih dalam masa inkubasi suatu penyakit; misalnya dirumah ada keluarganya yang menderita morbili.
d. Riwayat penyakit yang diderita, misalnya penyakit jantung bawaan, asma bronkiale, allergi terhadap obat tertentu harus sudah diketahui bahkan bile diperlukan sudah dilakukan pengobatan sebelum pembedahan dilakukan.
3. Pertimbangan terhadap keselamatan pasien
a. Alat-alat pembiusan, pembedahan, dan perawatan pada anak sangat spesifik, terutama pada bayi, sehingga tersedianya sarana ini mempunyai kontribusi dalam penentuan waktu pembedahan.
b. Kemampuan spesialis bedah, spesialis anestesi, spesialis anak dan spesialisasi lain yang akan menunjang kegiatan pembedahan.
Beberapa keadaan penyakit dan penentuan waktu pembedahannya:
1. Labiognatopalatoskisis. Pembedahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan pasien dan maslahnya
a. Tahap pertama. Dilakukan koreksi terhadap labioskisisnya, waktu yang dipilih disesuaikan dengan maslah yang dihadapi diatas, terutama pada umur ini bentuk alae nasi cukup baik dan bila pada sumbing dua sisi, prolabiumnya belum mengalami protusi berat yang dapat mengaggu koreksi bedahnya. Pembedahan yang dilakukan pertama kali adalah labioplasti, waktu pembedahannya sesuai dengan “rule of ten”, sebagai patokan;
i. Umur lebih dari 10 minggu
ii. Berat badan lebih dari 10 pound
iii. Kadar hemoglobin lebih dari 10 g%
iv. Jumlah hitung lekosit kurang dari 10.000
b. Tahap kedua. Koreksi terhadap defek pada palatum yang menyebabkan “nasal escape” terutama pada fonasi suara letup; antara lain “b, d, g” dan belum terjadi atrofi pada otot elevator daan tensor palatini. Palatoplasti dikerjakan sebelum anak mulai belajar bicara; yaitu umur 11-12 bulan. Hasil baikl bila fungsi bicaranya baik.
c. Tahap selanjutnya dikerjakan bila mana diperlukan koreksi tambahan atau koreksi ulang terhadap kemungkinan penyulit. Diharapkan seluruh koreksi sudah selesai pada saat anak mulai masuk sekolah.
2. Kelainan daerah leher
a. Sinus atau kista brokogenik. Merupaka kelainan disepanjang celah insang, terutama celah insang ke dua yang berjalan dari bagian depan telinga menyusuri tepi depan otot sternokleidomastoideus. Pada bayi sering dijumpai dalam bentuk fistel. Penentuan waktu pembedahan sebaiknya berdasarkan “Rule of ten”
b. Kista tiroglosus atau kista duktus tiroglosus persisten. Biasanya ditemukan pada anak besar. Sebaiknya dilakukan pembedahan sebelum terjadi infeksi, bila sudah terjadi infeksi, pembedahan nya sulit dan sering residif.
c. Tortikolis. Biasanya baru tampak setelah berumur 1-2 bulan, dimana sudah terjadi fibrosis sehingga terjadi pemendekan otot sternokleidomastoideus. Pada bayi sebaiknya dilakukan fisioterapi dahulu, biasanya 90% akan berhasil. Tanpa fisioterapi , biasanya baru menghilang dalam 10 bulan. bila dibiarkan maka akan terjadi perubahan kedudukan mata, hemihipoplasi kepala, letak skapula jadi tidak sama tinggi. Bila koreksi pada umur tua, akan terjadi diplopia
d. Hemangioma. Bisa meluas sampai umur 12 bulan, dsn biasanya bisa regresi mulai umur 18-24 bulan; fase 4regresibisa dipercepat dengan cara :
i. Kontak radiasi sedalam 5 mm, dengan 3 kali penyinaran 300 rad. Hal ini dikerjakan pada hemangioma lyas dan tidak dalam. Radiasi pada kepala dan mama akan menganggu perkembangan organ tersebut.
ii. Pada hemangioma tidak luas tetapi dalam, dapat dilakukan injeksi NaCl3% sebulan sekali pada pangkal benjolan
iii. Pada hemsangioma luas dan dalam, diberikan cosrtcosteroid dosis tinggi selama5-7 minggu, kemudian istirahat selama 5 minggu. Selanjutnya dilakukan evaluasi apakah terjadi pengecilan. Pengobatan dihentikan bila benjolan mengecil atau menetap ukurannya. Bila tumor masih membesar, pengobatan seri kedua dilanjutkan dan seterusnya.
iv. Pembedahan dikerjakan dini bila letaknya di palpebra, telinga, hidung dan bibir, yang bila meluas bisqa menyebabkan destruksi jaringan. Pembedahan dini dikerjakan pula bila terletak ditempat yang mudah terkensa cedera, misalnya peerineum, ketiak.
e. Limfangioma. Limfangiona tidak terjadi regresi spontan dan bersifat radioresisten. Tumor akan cepat membesar bila terdapat proses radang pada jaringan didekatnya. Tumor inni mempunyai kista mikro dan kista makro, sehingga sulit diangkat sekaligus. Pembedahan dikerjakan segera setelah diagnosis ditegakan, semakin lama ditunda, maka pembedahan akan semakin sulit karena perlengketannya.
3. Kelainan pada telinga.
a. Sinus preaurikular. Penyakit ini bisa dibiarkan bila tanpa keluhan. Bila terjadi infeksi, lakukan pengobatan terlebih dahulu, pembedahan dilakukan 2-3 bulan kemudian setelah infeksi mereda. Bila terjadi abses,dilakukan insisi drainasedan pemberian antibiotika. Pembedahan deefinitif dilakukan setelah infeksi mereda.
b. Makro dan mikro aurikel. Pembedahan ini cukup sulit. Sebaiknya pembedahan dikerjakan setelah daun telinga berhenti berkembang pada umur 5 tahun.
4. Kelainan umbilikus.
a. Hernia umbilikalis. Umumnya dapat menutup sendiri. Bila lubang nya kecil, penutupan bisa dipercepat dengan menggukana koin dan plester. Bila lubangnya cukup besar dan dalam umur 2 tahun tidak terjadi penutupan sebaiknya dilakukan repair hereniorafi. Hernia para umbilikal tidak menutup sendiri, dan dilakukan repair primer pada umur tersebut.
b. Granuloma umbilikalis. Dicoba dulu dengan pemberian AgNO3 3%, bila gagal lakukan pembedahan. Waktu pembedahan yang tepat sesuai dengan “rule of ten”
c. Persisten duktus urakus dan persisten duktus omfalo mesenterikus; ditutup sesuai dengan “rule of ten”
5. Kelainan pada lipat paha dan genitalia eksterna
a. Hernia lipat paha. Disiapkan sedini mungkin, kqrena potensial adanya bahaya inkarserasi
b. Hidrokel testis atau funikuli. Hidrokel non komunikan, cairannya akan diresopsi sendiri oleh tubuh. Sedangkan hidrokel komunikans perlu pembedahan, pembedahan biasa dikerjakan pada umur 2 tahun
c. Gangguan penurunan testis. Bisa berupa arest (kriptorkismus) atau ektopik. Pembedahan dilakukan sebelum fungsi spermatogenesis berhenti, yakni sewaktu anak berumur 2,6 tahun. Pembedahan yang dikerjakan setelah saat itu, maka spermatogenesis akan terganggu, sedangkan fungsi hormonalnya ntidak tergsanggu.
d. Phymosis penis. (Pada dasarnya sirkumsisi dapat dikerjakan mulai masa neonatus sampai anak besar). Pada phymosis bisa dicoba secara konserfativ dengan dilatasi preputium, caranya: dengan menarik preputium penis ke posterior sehingga terdilatasi sendiri secara bertahap, hati-hati jangan sampai terjadi paraphymosis yang merupakan keadaan emergensi. Keadaan emergensi juga bisa terjadi bila retensio urin. Bila dalam perjalanan nya sering terjadi keluhan kesulitan buang air kecil (retensio urin) ataau balanitis, sebaiknya segera dilakukan sirkumsisi. Sirkumsisi pada neonatus bisa dikerjakan dengan anestesi lokal.
e. Hipospadia. Biasanya pembedahan dikerjakan 2 tahap.
i. Tahap pertama dilakukan eksisi kordee yangn dikerjakan pada umur 1 tahun.
ii. Tahap selanjutnya, uretroplasti dikerjakan pada umur 2 tahun
iii. Pembedahan tambahan atau koreksi atas penyulit diselesaikan sebelum anak masuk sekolah (umur 5 tahun), selain itu pada umur tersebut anatomis penis sudah cukup panjang
6. Kelainan pada tangan-jari
a. Polidaktili. Penentuan waktu pembedahan pada jari tangan didasarkan pada “rule of ten”. Sedangkan pada jari kaki, karena kesulitan memakai sepatu, maka eksisi dikerjakan pada umur 1 tahun. Bila tidak mengganggu, penetuan berdasarkan permintaan keluarga
b. Sindaktili. Eksisi pada jari tangan dierjakan pada umur 5 tahun, pada jari kaki dikerjakan setelah umur 1 tahun.

Minggu, 07 Februari 2010

POLIKLINIK BEDAH ANAK PINDAH KE TEMPAT BARU

Mulai bulan Februari 2010 ini poliklinik bedah anak pindah ke gedung baru "Poliklinik Spesialis - RSUD AWS", hari prakteknya tetap; yakni : SENIN-RABU-JUMAT, dengan jam yg sama sedangkan hari SELASA-KAMIS-SABTU digunakan untuk operasi berencana. Sedangkan operasi emergensi dilakukan setiap saat sesuai dengan keperluan kasusnya.